Di Indonesia, konon pasar tradisional telah ada sejak zaman kerajaan Kutai Kertanegara pada abad ke 5 Masehi.Dalam Indonesian Heritage, Ancient History (1996), dituliskan bahwa catatan pertama mengenai eksistensi pasar tradisional ditemukan pada abad ke-10. Catatan yang dimaksud adalah prasasti masa kerajaan Mpu Sindok yang menyebut pasar tradional dengan istilah Pkan.Pasar tradisional dalam awal-awal keberadaannya memiliki peranan yang penting dalam perkembangan wilayah dan terbentuknya kota. Sebagai pusat aktivitas ekonomi masyarakat, pasar tradisional telah mendorong tumbuhnya pemukiman-pemukiman dan aktivitas sosial-ekonomi lainnya di sekitar pasar tersebut, dan pada tahap selanjutnya berkembang menjadi pusat pemerintahan.Pasar tradisional berawal dari sistem barter (pertukaran) barang sehari-hari yang dilakukan masyarakat setempat dengan para pelaut Tiongkok.Sejak saat itu juga, pasar tradisional menjadi tonggak dalam memajukan dan menggerakan ekonomi kerakyatan serta menjadi miniatur kehidupan sosial, budaya, bahkan politik suatu masyarakat. Dalam perkembangan pasar tradisional, perempuan memiliki peran yang signifikan. Konstruksi gender yang melekat pada perempuan melatarbelakangi lahirnya berbagai peran penting tersebut, baik sebagai pembeli, penjual, maupun sebagai produsen yang memasok barang ke pasar.Stamford Raffles mendokumentasikan dalam karyanya yang terkenal berjudul History of Java bahwa dalam budaya Jawa hanya perempuan yang pergi dan melakukan aktivitas di pasar. Menurutnya, laki-laki memiliki kapasitas yang lemah dalam pengelolaan keuangan sehingga perempuan mengambil alih peran mengatur belanja rumah tangga.Selain itu, Anthony Reid juga menuliskan peran perempuan di pasar tradisional dalam bukunya Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 dengan mengutip seorang panglima Armada Portugis yang singgah di Maluku pada masa awal kolonialisme di Indonesia bahwa perempuan dalam perniagaan bertindak sebagai penjual dan pembeli serta mengembangkan budaya tawar menawar.Peran tersebut, hingga saat ini, praktis tidak bergeser.Bahkan perempuan memegang kendali terhadap keberlangsungan pasar tradisional. Mulai dari penentuan harga, jenis barang yang dijual, hingga pada ke mana barang tersebut akan didistribusikan, serta aktivitas lainnya. Secara kuantitas, meski tidak ada angka yang pasti, perempuan merupakan mayoritas dan menempati seluruh lapisan struktur di pasar tradisional, dari yang terendah hingga tertinggi, termasuk perempuan produsen yang menggunakan pasar tradisional untuk memasarkan hasil produksinya.Berbeda dengan laki-laki yang secara kuantitas tidak banyak dan lebih berperan sebagai buruh penyedia jasa di pasar tradisional. Oleh karena itu, menjamurnya pasar modern menjadi ancaman tersendiri, baik bagi perempuan maupun bagi ekonomi kerakyatan secara umum.Selain itu, pasar modern yang identik dengan minimnya interaksi juga dapat mencerabut masyarakat dari tradisi budayanya digantikan dengan gaya hidup individualistik yang tidak sesuai dengan corak masyarakat.Di mana budaya tutur atau budaya penyampaian pesan dari mulut ke mulut melalui proses interaksi telah lama digunakan untuk menjaga tradisi dan pengetahuan lokal yang ada. Dan lagi-lagi peran perempuan tidak bisa dipandang remeh dalam proses tersebut. Sehingga bukan tidak mungkin jika kehadiran pasar modern juga akan berkontribusi pada hilangnya tradisi dan pengetahuan yang telah berkembang, termasuk tradisi yang berangkat dari pengalaman dan pengetahuan perempuan.Di tengah era globalisasi dimana masyarakat dibuat candu dengan cara hidup praktis, pasar modern tentu lebih mendapatkan tempat sehingga pembangunannya juga lebih diprioritaskan. Argumentasi tersebut dapat dibuktikan dengan data yang menyebutkan bahwa pertumbuhan pasar modern jauh lebih tinggi hingga mencapai 31,4% dibandingkan dengan pasar tradisional yang bahkan kurang dari 0%, yakni -8,1% (Asosiasi Pengelola Pasar Indonesia, 2011).Bahkan dalam kurun waktu 2007-2011, 3.800 pasar tradisional yang tersebar diberbagai wilayah lenyap (Kementerian Perdagangan, 2011) dialihfungsi menjadi pasar modern yang dimonopoli oleh perusahaan retail raksasa maupun infrastruktur lain yang juga melibatkan perusahaan. Belum lagi pasar tradisional juga mulai ditinggalkan karena masifnya kehadiran minimarket yang lebih dekat dengan konsumen dan tersebar hampir di setiap wilayah. Melihat fakta masifnya pembangunan pasar modern, angka tersebut masih sangat mungkin bertambah lebih besar di tahun 2019.Perebutan ruang antara pasar tradisional dan pasar modern menjadi hal yang tidak dapat dihindari. Pemerintah bukan tidak menyadari fungsi pasar tradisional sebagai penggerak ekonomi kerakyatan di mana puluhan juta orang, termasuk perempuan, menggantungkan hidupnya di sana. Namun sebagai pemegang otoritas politik, pemerintah kerap tidak menunjukan keberpihakannya.Akhirnya, perempuan sebagai pelaku utama di pasar tradisional juga menjadi entitas yang paling rentan menjadi korban pemiskinan akibat kehilangan ruang yang menjadi sumber kehidupannya. Belum lagi ditambah lapisan beban lain yang diemban perempuan akibat konstruksi sosial yang langgeng.Untuk mengentaskan permasalahan tersebut, diperlukan langkah afirmatif yang serius dari pemerintah. Pembatasan pembangunan pasar modern harus segera dimulai. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan penataan pasar tradisional agar dapat kembali diminati konsumen. Tentu upaya tersebut harus dilakukan dengan melibatkan secara aktif seluruh pelaku dalam pasar tradisional, termasuk perempuan.Source: KelungArtikel awal dalam bahasa Inggris di Supermarket Watch Asia Bulletin n.13 (Februari 2019). Silahkan ikuti tautan ini untuk berlangganan.