https://grain.org/e/6292

Apa yang salah dari tanaman biofortifikasi? Pertarungan untuk solusi gizi buruk yang sejati telah dimulai

by GRAIN and Solidaritas Perempuan | 17 Jul 2019
Petani mencabut padi biofortifikasi hasil rekayasa genetik yang dikenal sebagai 'padi emas' di ladang percobaan di Pili, Filipina, untuk menghentikan komersialisasinya.

“Biofortifikasi” bertujuan untuk meningkatkan sejumlah nutrisi dalam tanaman melalui pembudidayaan tanaman, baik menggunakan metode tradisional ataupun melalui cara-cara baru seperti biotekhnologi. Walaupun terdapat 40 zat gizi utama yang wajib kita dapatkan dari makanan demi kesehatan, riset-riset tanaman biofortifikasi hanya mengutamakan tiga jenis: zat besi, seng dan Vitamin A.

Sejumlah penelitian tengah dilakukan untuk mengembangkan tanaman biofortifikasi pada padi, gandum, sorgum, pisang, lentil, kentang, ubi, singkong, kacang-kacangan dan jagung di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Sebagian dari penelitian ini dikelola oleh Kelompok Konsultatif untuk Penelitian Pertanian Internasional (CGIAR) melalui tiga unitnya: Pusat Penelitian Padi Internasional (IRRI), yang memfokuskan penelitian pada padi rekayasa genetic; Pusat Kentang Internasional, fokus pada pengembangan biofortifikasi ubi; dan HarvestPlus yang menkoordinasikan penelitian untuk tanaman lainnya. Pendanaan untuk penelitian ini diantaranya datang dari Bill and Melinda Gates Foundation dan USAID. Penelitian juga dilakukan sejumlah korporasi privat seperti PepsiCo, Dupont, Bayer, Nestle dan lainnya.

Pendukung tanaman biofortifikasi berdalih bahwa ini adalah cara paling ekonomis untuk mengatasi gizi buruk: sekali dikembangkan tanaman ini bisa ditanam lagi dan lagi. Mereka seringkali menggunakan bahasa yang mengecoh untuk mempromosikan tanaman ini, dimulai dengan kata “biofortifikasi” itu sendiri yang menyiratkan bahwa tanaman atau pangan lainnya secara bawaan lemah atau tidak memiliki kebutuhan gizi yang cukup.


Istilah seperti “padi emas”, “pisang super” dan “jagung oranye” digunakan untuk menyakinkan konsumen kalau versi biofortifikasi dari benih-benih atau tanaman ini secara spesifik lebih unggul dari tanaman non-biofortifikasi sejenisnya.
Nama-nama ini, belum lagi tanamannya sendiri, kerap didaftarkan untuk kepemilikan hak kekayaan intelektual bahkan jika pemanfaatannya dimaksudkan untuk bebas biaya.

Hingga hari ini, sekitar 300 tanaman biofortifikasi telah dikembangkan dan dilepaskan di seluruh duni. Walaupun dari jenis-jenis yang dilepaskan ke petani hingga saat ini belum ada yang dikembangkan secara rekayasa genetik, sejumlah besar tanaman biofortifikasi hasil rekayasa genetik sedang menanti untuk dilepaskan.

Perempuan dan anak-anak umumnya menjadi target penerima utama dari tanaman biofortifikasi ini. Namun, sejumlah komunitas pedesaan dan kelompok perempuan di seluruh dunia memandang bahwa sistem pangan lokal dan asupan pangan tradisional sebagai solusi sejati dari kemiskinan dan kekurangan gizi dibanding dengan tanaman biofortifikasi.

GRAIN dan Solidaritas Perempuan mengeluarkan seruan aksi; mengundang kelompok-kelompok perempuan dan organisasi tani untuk mencermati permasalahan biofortifikasi ini – di tingkat lokal, nasional, ataupun global. Kami memandang ada cukup pengalaman, fakta dan pengalaman untuk menjustifikasi adanya boikot terhadap semua tanaman dan pangan biofortifikasi, dibarengi dengan tuntutan untuk kontribusi dalam penelitian pertanian yang berbeda yang mendukung pertanian agroekologi, berbasis kebudayaan lokal dan memajukan kedaulatan pangan.

Kami mengusulkan pendekatan alternative untuk mengatasi kelaparan dan kekurangan gizi berdasarkan lima prinsip berikut:

1. Berbagi informasi dan pengetahuan mengenai pola makan dan pola hidup yang sehat, dengan menekankan pada kebutuhan perempuan dan kesetaraan gender;
2. Memperkuat kepemimpinan perempuan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan pangan dan penelitian sistem pangan;
3. Mengedepankan keanekaragaman dalam pertanian dan pola makan, daripada monokultur atau pangan sejenis. Hal ini termasuk menghargai tanaman dan ternak lokal, kebudayaan pangan, benih dan pengetahuan lokal yang menjamin keberlangsungan kesehatan komunitas tetap kuat;
4. Menurunkan biaya produksi pangan dan meningkatkan ketersediaan buah dan sayuran, melalui pengalihan subsidi dan pendanaan publik lainnya yang saat ini digunakan untuk mendorong industrialisasi pertanian dan pangan olahan; dan
5. Melawan sistem neoliberal dalam pangan dan pertanian yang memperlakukan pangan sebagai komoditas dan mendorong paten kekayaan intelektual benih dan tanaman untuk memfasilitasi keuntungan korporasi. Mengatasi akar masalah kemiskinan dan kelaparan perlu adanya kontrol public dan komunitas atas pertanian dan pangan.

Lebih lanjut bisa dilihat laporan lengkap “Tanaman biofortifikasi atau keanekaragaman hayati? Perlawanan untuk solusi sejati bagi kekurangan gizi telah dimulai” (dalam Bahasa Inggris) di https://www.grain.org/e/6246

Author: GRAIN and Solidaritas Perempuan
Links in this article:
  • [1] https://www.grain.org/system/attachments/sources/000/005/470/med_large/Map-FlatWorld_b-w_summary-bahasa.jpg
  • [2] https://www.grain.org/e/6246